Bengkulu, Lintas7news.my.id — Program “Makan Akbar” yang digagas Gubernur Bengkulu bekerja sama dengan tokoh lokal Willie Salim dan pendakwah Ustadz Derry Sulaiman, pada Selasa (8/4/2025), kini menjadi sorotan tajam. Kegiatan yang digelar di pelataran Masjid Raya Baitul Izzah itu menuai kritik keras dari masyarakat, khususnya terkait dugaan eksploitasi siswa SMK dan SMP dalam pelaksanaannya.
Para siswa SMK jurusan kuliner dilaporkan dilibatkan penuh sejak pukul 16.00 WIB untuk membantu persiapan dan penyajian makanan dalam jumlah besar. Hingga malam hari, belum ada kejelasan mengenai waktu kepulangan mereka ke rumah masing-masing, menimbulkan kekhawatiran akan aspek keselamatan, kesejahteraan, serta hak-hak anak.
Tak hanya siswa SMK, siswa dari jenjang SMP yang tengah mempersiapkan ujian tengah semester pun dimobilisasi untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Sejumlah pihak menilai keterlibatan ini mengganggu konsentrasi belajar serta melanggar prinsip kegiatan belajar-mengajar (KBM) yang seharusnya bebas dari tekanan seremonial.
Toni, tokoh muda Bengkulu yang juga dikenal sebagai pengamat kebijakan publik, mengecam keras pelaksanaan program tersebut. Ia menyoroti adanya dugaan maladministrasi dalam penerbitan surat edaran yang menginstruksikan pelibatan siswa, yang ditandatangani langsung oleh Gubernur Bengkulu.
“Surat edaran kegiatan di wilayah Kota Bengkulu seharusnya menjadi wewenang Wali Kota, bukan Gubernur. Ini bentuk pengangkangan terhadap sistem pemerintahan daerah dan pelanggaran administratif,” tegas Toni saat dimintai tanggapan, Selasa malam (8/4/2025).
Ia juga mempertanyakan urgensi acara tersebut yang digelar menjelang momentum politik 2024–2025. Menurut Toni, program semacam ini berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan pencitraan, dengan mengorbankan hak-hak anak dan memaksa dunia pendidikan menjadi alat pelengkap seremoni.
“Mengerahkan siswa SMK untuk jadi tenaga kerja gratis demi suksesnya acara pemerintah daerah, itu tidak etis. Dunia pendidikan harusnya jadi tempat yang aman dan mendidik, bukan alat politik,” ujarnya lagi.
Sementara itu, Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai keterlibatan siswa dan kemungkinan adanya tekanan terhadap pihak sekolah.
Berbagai elemen masyarakat mendesak agar Ombudsman RI dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) segera turun tangan mengusut dugaan pelanggaran terhadap perlindungan anak dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan.
“Kalau terus dibiarkan, ini akan jadi preseden buruk. Anak-anak tidak boleh dikorbankan hanya demi pencitraan atau keberhasilan acara pemerintah,” tutup Toni.
Masyarakat berharap agar ke depan, pelaksanaan kegiatan seremonial tidak lagi menyeret pelajar secara tidak proporsional. Evaluasi menyeluruh atas program-program semacam ini menjadi keharusan demi menjaga marwah dunia pendidikan dan hak anak sebagai prioritas utama.(*)