Kuasa Hukum Meriyanti Ungkap Dugaan Jaringan Mafia Tanah di Bengkulu
BENGKULU — Sengketa tanah yang menimpa Meriyanti perlahan membuka dugaan persoalan yang lebih besar. Bukan sekadar konflik hak atas lahan, melainkan indikasi praktik mafia tanah yang diduga bekerja secara terstruktur, sistematis, dan melibatkan lebih dari satu institusi.
Kuasa hukum Meriyanti, Rizki Dini Hasanah, S.Kep., S.H., menyebut perkara ini bermula dari upaya kliennya meningkatkan status tanah adat menjadi sertifikat hak milik. Namun, proses itu tersendat ketika Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bengkulu menyatakan bidang tanah tersebut telah tercatat dalam peta bidang atas nama pihak lain, Ahmad Rusli.
Masalahnya, peta bidang yang dijadikan dasar oleh BPN justru memunculkan tanda tanya besar.
“Peta bidang yang ditunjukkan kepada klien kami tidak identik dengan data yang tersimpan dalam sistem pertanahan nasional,” kata Dini kepada wartawan.
Data Tak Bertemu Fakta
Untuk menguji klaim tersebut, tim kuasa hukum melakukan penelusuran mandiri melalui database pertanahan nasional, termasuk memanfaatkan aplikasi resmi Sentuh Tanahku. Hasilnya, menurut Dini, memperlihatkan ketidaksinkronan yang mencolok.
“Nomor hak sertifikat yang diklaim pihak lain tidak menunjuk pada peta bidang yang sama dengan yang ditampilkan oleh BPN Kota Bengkulu. Ada perbedaan signifikan, baik secara letak maupun batas bidang,” ujarnya.
Ketidaksesuaian antara data resmi dan dokumen lapangan ini, lanjut Dini, bukan sekadar kesalahan administratif biasa.
“Jika peta bidang berbeda-beda untuk satu objek tanah, maka keabsahan sertifikat dan proses penerbitannya patut dipertanyakan,” tegasnya.
Dugaan Jaringan Terstruktur
Dari rangkaian peristiwa tersebut, Dini menilai perkara kliennya berpotensi menyeret banyak pihak apabila diusut secara menyeluruh dan terbuka. Ia menduga, kasus ini hanyalah satu simpul dari jaringan praktik mafia tanah yang selama ini berjalan senyap.
“Indikasinya tidak berhenti pada pihak swasta. Ada potensi keterlibatan oknum ASN, dan dalam skenario terburuk, tidak menutup kemungkinan menyentuh oknum aparat penegak hukum,” kata Dini.
Ia menyebut, pola yang muncul—mulai dari tumpang tindih peta bidang, perbedaan data sistem, hingga klaim sepihak atas tanah—merupakan ciri klasik praktik mafia tanah di berbagai daerah.
Ujian bagi Negara
Bagi Dini, perkara ini bukan semata soal memenangkan sengketa perdata, melainkan ujian terhadap integritas sistem pertanahan negara.
“Jika kasus ini dibuka secara serius, publik bisa melihat bahwa yang terjadi bukan peristiwa tunggal. Ada benang kusut yang selama ini dibiarkan, dan Bengkulu bukan mustahil menjadi salah satu ladang subur praktik mafia tanah,” ujarnya.
Ia menegaskan akan menempuh seluruh jalur hukum yang tersedia, sekaligus mendorong aparat pengawas dan penegak hukum untuk turun tangan.
“Tanah adalah hak dasar warga negara. Ketika data negara justru saling bertentangan, maka yang terancam bukan hanya satu orang, melainkan kepercayaan publik terhadap hukum itu sendiri,” pungkasnya. (Red)
Artikel Peta yang Berbeda, Sertifikat yang Dipertanyakan pertama kali tampil pada WWW.Lintas7NEWS.my.id.





