
Oleh: Nokiskar Samuel Hulahi
da satu pertanyaan yang terus berputar di kepala saya sejak berstudy di Magister Studi
Pembangunan: apa makna pembangunan jika yang dibangun justru meninggalkan luka?
Pertanyaan itu lahir dari kenyataan yang saya saksikan sendiri di tanah kelahiran saya, Maluku
Utara sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya alam, tetapi terus menjadi sasaran
eksploitasi besar-besaran. Dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas pertambangan tumbuh
masif di Halmahera, Obi, hingga Pulau Gebe. Alat-alat berat datang menggali bumi, menggusur
hutan, dan mengubah kampung-kampung nelayan menjadi kaw asan industri nikel.
Namun, di balik slogan “investasi untuk kesejahteraan”, tersimpan kenyataan lain yang sering
tak terdengar: warga kehilangan tanahnya, sungai menjadi keruh, hasil kebun menurun, dan
laut tak lagi memberi ikan. Pembangunan yang digadang-gadang membawa kemajuan, justru
menyingkirkan masyarakat dari ruang hidupnya sendiri.
Pembangunan yang Tak Berpihak
Dalam teori pembangunan berkelanjutan (Sachs, 1999), pembangunan sejati adalah yang
menyeimbangkan tiga dimensi: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sayangnya, yang terjadi di
Maluku Utara hanyalah pembangunan yang berpihak pada angka-angka ekonomi, bukan pada
keberlanjutan kehidupan.
Saya bukan menolak pembangunan. Saya hanya percaya bahwa pembangunan yang benar
seharusnya berpihak kepada masyarakat, bukan mengorbankan mereka. Ketika perusahaan
datang membawa izin dan alat berat, lalu warga hanya diberi dua pilihan “terima atau pergi”
di situlah pembangunan kehilangan maknanya.
Robert Chambers (1983) dalam teori pembangunan partisipatif menekankan pentingnya
keterlibatan masyarakat lokal dalam setiap proses pembangunan. Namun dalam praktiknya,
masyarakat di sekitar tambang justru dijauhkan dari ruang pengambilan keputusan. Suara
mereka sering dianggap menghambat investasi.
Janji yang Tak Pernah Ditepati
Narasi utama yang digunakan untuk membenarkan aktivitas pertambangan di Maluku Utara
adalah “membangun daerah tertinggal.” Namun, kenyataannya jauh berbeda. Ambil contoh
Pulau Obi. Setelah bertahun-tahun menjadi lokasi pertambangan nikel, infrastruktur dasar
seperti jalan lingkar pulau, akses air bersih, dan listrik yang stabil masih menjadi sesuatu yang
sulit untuk dinikmati oleh masyarakat. Sekolah dan fasilitas kesehatan juga masih cukup
tertinggal jauh.
Padahal, menurut Amartya Sen (1999), pembangunan sejati bukan hanya tentang peningkatan
pendapatan, tetapi tentang perluasan kebebasan manusia kebebasan untuk hidup layak, sehat,
dan bermartabat. Dalam konteks Obi, pembangunan yang dijanjikan justru mempersempit ruang kebebasan warga, karena mereka kehilangan tanah, pekerjaan tradisional, bahkan suara
dalam menentukan masa depan desanya.
Baru-baru ini, ketegangan sosial muncul di Desa Bobo, Obi, akibat kehadiran perusahaan
tambang baru yang mulai beroperasi. Warga kini terbelah antara yang mendukung dan yang
menolak.
Sebagian berharap tambang membuka lapangan kerja, tetapi sebagian lain khawatir
lingkungan rusak dan laut tercemar. Seorang ibu pendeta bersama sebagian jemaat gerejanya
secara tegas menolak aktivitas tambang tersebut. Bagi mereka, tanah dan laut bukan sekadar
sumber ekonomi, melainkan warisan iman dan kehidupan yang harus dijaga. Penolakan ini
menunjukkan bahwa konflik tambang bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga persoalan moral
dan spiritual.
Fenomena ini sejalan dengan kritik James Ferguson (1990), yang menggambarkan bagaimana
proyek-proyek pembangunan seringkali mematikan politik rakyat. Pemerintah dan perusahaan
tambang datang membawa jargon “pembangunan,” tetapi justru menghilangkan ruang
partisipasi dan perdebatan publik. Pembangunan berubah menjadi mesin teknokratis yang
menyingkirkan suara masyarakat lokal.
Situasi yang dialami warga Obi mencerminkan apa yang dijelaskan Andre Gunder Frank
(1967) wilayah pinggiran yang kaya sumber daya justru terus bergantung pada pusat, karena
hasil buminya mengalir keluar tanpa memberi manfaat berarti bagi warga. Kekayaan nikel di
Obi memang menambah devisa nasional, tetapi kesejahteraan warga lokal tetap jalan di tempat
bahkan sebagian kehilangan ruang hidupnya.
Tanah Adat yang Tersingkir
Di Halmahera Timur, warga adat terkejut ketika mengetahui tanah mereka masuk dalam
wilayah konsesi tambang. Protes yang dilakukan berujung pada kriminalisasi sebelas orang
warga. Ini bukan hanya soal konflik lahan, tetapi juga tentang pengabaian terhadap hak-hak
masyarakat adat yang sudah mengelola tanah itu secara turun-temurun.
Menurut Elinor Ostrom (1990), pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas adalah
kunci keberlanjutan. Namun, ketika hak-hak komunal ini diabaikan, yang muncul adalah
ketegangan dan ketidakadilan. Negara seolah lebih sibuk melayani korporasi ketimbang
menjaga rakyatnya sendiri.
Negara yang Berpihak pada Modal
Kekecewaan publik semakin dalam ketika melihat pemerintah daerah justru terlibat dalam
bisnis tambang. Dalam rapat Komisi IV DPR RI bersama Menteri Kehutanan (23/9/2025),
nama Gubernur Maluku Utara, Sherly Djoanda, disebut terkait perusahaan tambang nikel PT
Karya Wijaya di Pulau Gebe yang diduga beroperasi tanpa izin resmi. Jika benar, ini bukan
hanya pelanggaran hukum, tetapi juga bukti bahwa kekuasaan dan modal telah bersekutu di
atas penderitaan rakyat.
Dalam teori ekonomi politik kekuasaan (Robert Cox, 1981), negara kerap menjadi instrumen
kepentingan ekonomi elit. Pemerintah, yang seharusnya menjadi pelindung kepentingan publik, justru berubah menjadi bagian dari struktur yang menindasnya. Maka, tak heran bila
masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap negara.
Gerakan dari Akar Rumput
Namun di tengah situasi yang muram ini, ada secercah harapan. Di berbagai tempat, warga
mulai bersuara. Mereka menulis surat, membuat video, berdiskusi di balai desa, dan menolak
tambang demi mempertahankan sumber air. Mereka mungkin tidak menyebut dirinya aktivis,
tapi tindakan mereka adalah bentuk nyata dari perlawanan.
Teori gerakan sosial baru (Alain Touraine, 1985) menjelaskan bahwa gerakan masyarakat kini
tidak selalu lahir dari ideologi besar, melainkan dari pengalaman hidup sehari-hari dari
keresahan atas lingkungan, identitas, dan masa depan komunitasnya. Dan itulah yang kini
tumbuh pelan-pelan di Maluku Utara.
Menjaga Harapan
Saya tidak membawa solusi besar. Tapi saya percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari
kesadaran kecil: dari kemauan untuk bertanya, mendengar, dan tidak menutup mata. Dalam
pandangan Paulo Freire (1970), kesadaran kritis adalah langkah pertama menuju pembebasan
kesadaran bahwa kita punya hak untuk menentukan arah hidup dan masa depan tempat kita
berpijak.
Gerakan dan kepedulian sekecil apa pun, adalah bentuk cinta terhadap tanah air. Maluku Utara
sedang diuji. Tapi selama masih ada yang berani resah dan memilih untuk peduli, maka harapan
belum benar-benar hilang