
Oleh: [Ridhoan P Hutasuhut]
Apa yang dilakukan Pemerintah Provinsi Bengkulu dalam kasus rekomendasi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) adalah tamparan keras terhadap prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Ketika pemerintah daerah menjadikan izin administratif sebagai alat tawar-menawar saham 20% dari perusahaan tambang emas di Seluma, maka yang sedang terjadi bukan negosiasi pembangunan, melainkan monetisasi kekuasaan praktik menjual otoritas publik demi keuntungan ekonomi.
Langkah ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga pelanggaran hukum yang nyata. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan jelas melarang penyalahgunaan kewenangan. Permintaan saham yang tidak memiliki dasar hukum jelas adalah bentuk détournement de pouvoir mencampuradukkan wewenang publik dengan kepentingan pribadi atau institusional. Tidak ada pasal, baik dalam UU Minerba maupun UU Kehutanan, yang memberi hak kepada pemerintah daerah untuk menuntut saham sebagai syarat administrasi.
Ironisnya, tindakan ini justru diklaim demi “kemakmuran daerah”. Padahal, manfaat ekonomi daerah seharusnya datang dari mekanisme yang sah: royalti, pajak, dana bagi hasil, dan divestasi resmi. Meminta saham sebagai “harga” rekomendasi bukan hanya menyalahi aturan, tapi juga menodai martabat birokrasi. Pemerintah daerah bukan pedagang izin; pejabat publik bukan makelar saham.
Lebih jauh, skema ini menimbulkan konflik kepentingan yang mematikan fungsi pengawasan. Ketika Pemprov Bengkulu menjadi pemegang saham 20%, ia tak lagi netral. Setiap pelanggaran lingkungan, setiap pencemaran, setiap reklamasi yang diabaikan akan berpotensi dibiarkan karena menindak perusahaan berarti mengurangi dividen daerah. Dengan kata lain, kekuasaan telah dibeli oleh kepentingan laba.
Apa yang sedang kita saksikan adalah bentuk korupsi struktural yang terselubung di balik bahasa investasi. Retorika “agar daerah ikut menikmati hasil” hanyalah pembenaran moral untuk tindakan pemerasan administratif. Pejabat publik yang menukar izin dengan saham sedang merampas nilai ekonomi negara tanpa mekanisme APBD dan tanpa persetujuan DPRD. Itu bukan pembangunan, tapi perampasan berbaju hukum.
Masyarakat Bengkulu berhak marah. Lingkungan yang seharusnya dijaga justru dijadikan alat transaksi politik dan ekonomi. Tidak ada satu pun pembenaran yang bisa menghalalkan praktik ini. Pemprov Bengkulu telah gagal menjaga integritas dan melanggar amanat publik.
Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan BPKP harus segera melakukan audit forensik dan investigasi tindak pidana korupsi yang berpotensi timbul dari kasus ini. Ombudsman RI juga wajib menindak maladministrasi berupa penahanan izin untuk kepentingan ekonomi. Dan jika negara diam, maka masyarakat sipil harus bersuara melalui gugatan warga negara (Citizen Lawsuit) demi menjaga marwah hukum dan keadilan ekologis.
Pemprov Bengkulu telah memilih jalan paling rendah dari birokrasi publik jalan yang menjual kekuasaan untuk saham.
Dan untuk itu, publik berhak menuntut pertanggungjawaban dan mengecam sekeras-kerasnya.