
Sorong – Banjir kembali menenggelamkan rumah dan jalanan, tapi pemerintah kota tetap menggelontorkan Rp500 miliar untuk pembangunan danau retensi. Pertanyaan publik jelas: apakah ini solusi nyata untuk warga miskin, atau sekadar proyek mahal yang menguntungkan kontraktor dan pejabat?
Selain danau retensi, Pemkot Sorong tengah membangun kanal banjir sepanjang 160 meter di Jalan Sungai Maruni dengan anggaran Rp6,020 miliar. Pekerjaan dijadwalkan rampung Desember 2025. Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya menyalurkan tambahan Rp500 juta untuk penanganan darurat banjir, termasuk pembersihan material dan sampah. Meski demikian, kritik terus mengalir: proyek fisik tanpa pengawasan ketat, tanpa keterlibatan warga, dan tanpa perbaikan tata ruang berisiko gagal total.
Aktivis Papua Barat Daya, Yeeskel Kalasuat, menekankan: “Danau retensi bisa membantu, tapi tanpa kontrol, partisipasi masyarakat, dan pembenahan tata ruang, proyek ini bisa sia-sia. Banjir di Sorong bukan hanya soal hujan, tapi akibat alih fungsi lahan, drainase buruk, dan pembangunan kota yang tak terkendali.”
Masalah sosial-ekonomi memperburuk dampak. Dengan tingkat kemiskinan 13,67 persen, warga miskin menjadi korban utama. Mereka menghadapi banjir sekaligus kesulitan ekonomi yang tak kunjung selesai. Proyek miliaran rupiah hadir, tapi manfaatnya diragukan.
Dalam jangka panjang, pemerintah pusat menargetkan Bendungan Ayamaru, bagian dari proyek strategis Kementerian PUPR senilai Rp21,56 triliun untuk 23 bendungan di seluruh Indonesia. Tujuannya meningkatkan pengendalian air dan irigasi. Namun publik skeptis: apakah bendungan dan danau retensi benar-benar cukup, atau hanya menambah daftar proyek mahal yang belum menyelesaikan masalah rakyat?
Sorong kini berada di persimpangan kritis. Miliaran rupiah digelontorkan, warga miskin tetap terendam, sementara proyek tetap berjalan. Pertanyaannya tajam: proyek ini untuk rakyat, atau hanya untuk proyek itu sendiri?
Hingga berita Ini ditayangkan Belum ada tanggapan Resmi dari Pemerintah Kota Sorong. Red