SOROT: Di Balik Kayu Papua yang Dijual, Ada Hutan Adat yang Hilang dan Janji Negara yang Luntur

Sorong / Jakarta — Penangkapan F.W. (61), Direktur PT Bangkit Cipta Mandiri (BMC), pada 2 Juli 2025 oleh Tim GAKKUMHUT Sulawesi Selatan, bukan sekadar proses hukum biasa. Ia menjadi simbol dari karut-marut tata kelola hutan di tanah Papua. F.W. dituduh terlibat dalam distribusi kayu ilegal asal Sorong, Papua Barat Daya, tanpa dokumen sah.

Namun di balik tumpukan kayu yang diangkut itu, tersembunyi cerita lain: hutan adat yang dibabat habis, masyarakat lokal yang dimanipulasi, dan perusahaan-perusahaan besar yang bebas beroperasi di atas penderitaan orang Papua.

“Mereka bilang bawa investasi, tapi nyatanya bawa gergaji dan alat berat. Hutan kami lenyap, tanah kami jadi lahan mati,” kata seorang pemangku adat dari Distrik Seget, Sorong.

Selama bertahun-tahun, masyarakat adat Papua Barat Daya menyaksikan bagaimana wilayahnya dijadikan target eksploitasi perusahaan kayu. Dengan atau tanpa izin resmi, praktik penebangan terus terjadi—sering kali mengandalkan kayu pacakan hasil tebang bebas masyarakat, dijual ke perusahaan, dan dilegalkan secara administratif melalui jalur gelap.

Skema Terstruktur, Jaringan Menggurita

Sumber internal menyebut bahwa praktik ini melibatkan rantai panjang aktor, mulai dari operator lapangan, perantara, pemilik perusahaan, hingga pemegang izin yang kerap bermain di wilayah abu-abu hukum.

Menurut DPN FAMI (Federasi Advokat Muda Indonesia), yang kini mengambil peran aktif membongkar jaringan ini, kasus F.W. hanyalah puncak dari gunung es.

“Kami telah kantongi daftar sejumlah perusahaan besar yang menerima kayu dari masyarakat tanpa dokumen sah, melakukan penebangan ilegal, merusak kawasan hutan, bahkan memalsukan dokumen angkutan,” ungkap Sekjen DPN FAMI, Adv. Binsar Luhut Pangaribuan.

Sorotan Tajam DPN FAMI: Siap Tempuh Jalur Hukum

DPN FAMI kini tengah menyiapkan:

  • Laporan pidana ke KLHK dan Mabes Polri terhadap perusahaan-perusahaan terlibat;
  • Gugatan perdata dan class action bersama masyarakat adat;
  • Permohonan pencabutan izin perusahaan di Papua Barat Daya;
  • Pelaporan ke Komnas HAM dan KPK, jika ditemukan keterlibatan pejabat.

Binsar menyebut, perusahaan-perusahaan ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi secara sadar menyingkirkan masyarakat lokal dari tanahnya sendiri demi keuntungan bisnis.

“Ini bukan sekadar pelanggaran lingkungan. Ini adalah pelanggaran atas hak hidup, hak atas tanah, dan hak untuk dilibatkan dalam keputusan di wilayah adat sendiri.”

Negara Diminta Hadir, Bukan Hanya Menonton

DPN FAMI mendesak negara untuk berhenti menjadi penonton dalam konflik hutan Papua. Sudah cukup lama masyarakat adat menjadi korban persekongkolan antara pengusaha dan kekuasaan.

Mereka meminta:

  • Audit total izin usaha kehutanan di wilayah Sorong Raya;
  • Penegakan hukum tegas terhadap pengusaha nakal, bukan hanya operator kecil;
  • Pemulihan wilayah adat dan restorasi kawasan hutan yang rusak.

Di tanah Papua, hutan bukan sekadar pohon — ia adalah sumber hidup, spiritualitas, dan identitas. Dan ketika hutan ditebang tanpa suara mereka, maka yang hilang bukan hanya tutupan lahan, tapi juga masa depan generasi.


SOROT ini akan terus mengawal perkembangan kasus dan perjuangan masyarakat adat. Karena hutan Papua bukan barang dagangan — ia adalah nyawa yang dijaga turun-temurun.


Redaksi

Related Posts

  • July 29, 2025
  • 3 views
Hari Bersejarah! 30 Advokat Muda FAMI Diambil Sumpahnya di Pengadilan Tinggi Yogyakarta

   Yogyakarta,…

  • July 25, 2025
  • 7 views
Pembagian Bantuan Langsung Tunai Dana Desa Tahap II Desa Air Rusa

AIR RUSA-…