“Hal-hal seperti itu bisa saja terjadi jika masyarakat penambang Rakyat seperti di wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah Kurang diperhatikan hal ini bisa saja membuat masyarakat miskin yang mengais rezeki dari gerusan serta limpasan Batu Bara di sungai marah, lalu terjadi aksi demonstrasi, karena berkarung-karung hasil dari dari jerih payah dari hasil masyarakat yang telah dikumpulkan dan di ambil dari Sungai dan sisa Pertambangan tidak bisa dijual dan dimanfaatkan hal ini sangat miris dan membuat kita sedih sedih.” Sampainya Jumat (03/04)
Lanjut Ketua Front Pembela Rakyat, “Aktivitas pertambangan rakyat tidak dapat dipisahkan sebagai aktivitas ekonomi potensial tetapi di lain sisi juga merupakan aktivitas yang mengandung banyak dampak dan resiko. Hal tersebut perlu direspon dengan adanya regulasi yang tepat untuk dapat mengoptimalkan potensi kemanfaatan dari aktivitas tersebut, sekaligus meminimalisir dampak negatif serta mengurangi resiko dalam aktivitas tersebut”. Katanya.
Pimpinan FPR juga menjelaskan dalam kerangka regulasi di Indonesia pertambangan rakyat telah diatur melalui U No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Regulasi ini mengatur tentang operasionalisasi aktivitas pertambangan rakyat, melalui adanya Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). IPR didefinisikan sebagai izin untuk melakukan pertambangan di wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi yang dibatasi.4 Adapun, WPR sendiri ditetapkan hanya untuk kawasan yang memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai.
2. Mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter.
3. Endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba.