Bengkulu Utara — Konflik agraria antara petani Desa Lubuk Banyau, Kecamatan Padang Jaya, Kabupaten Bengkulu Utara, dengan PT Sandabi Indah Lestari memasuki babak baru.
Setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Arga Makmur melakukan pemeriksaan setempat dalam perkara perdata Nomor 17/Pdt.G/2025/PN Agm dan menemukan adanya penguasaan lahan di luar Hak Guna Usaha (HGU), para petani resmi mengajukan banding dan membuka jalur hukum serta pengawasan ke berbagai lembaga negara.
Pemeriksaan setempat yang dilakukan majelis hakim mengungkap fakta bahwa PT Sandabi Indah Lestari menguasai lahan sekitar 3.000 hektar. Padahal, total HGU yang sah hanya 1.932,32 hektar, terdiri dari HGU Nomor 52 seluas 198,70 hektar dan HGU Nomor 65 seluas 1.733,62 hektar. Artinya, terdapat sekitar 1.068 hektar lahan yang dikuasai di luar izin resmi negara.
Selain itu, terungkap pula bahwa Desa Lubuk Banyau sebagai desa terdampak langsung tidak pernah memperoleh kebun plasma, meskipun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan mewajibkan perusahaan menyediakan sedikitnya 20 persen dari total luas areal untuk masyarakat sekitar.
Kuasa hukum para petani, Rustam Efendi, S.H., mengatakan bahwa fakta-fakta di lapangan sudah sangat terang, namun tidak dijadikan dasar utama dalam putusan tingkat pertama.
“Hari ini kami tegaskan: ini bukan lagi soal sengketa perdata biasa. Ini soal ketimpangan penguasaan tanah, pengabaian hak rakyat, dan lemahnya pengawasan negara. Pemeriksaan setempat membuktikan ada penguasaan di luar HGU dan tidak ada plasma untuk masyarakat. Itu fakta hukum, bukan opini,” kata Rustam Efendi, Rabu (24/12/2025)
Rustam menyatakan pihaknya tidak hanya menempuh banding di Pengadilan Tinggi Bengkulu, tetapi juga akan mengajukan pengaduan dan permintaan pengawasan ke berbagai institusi negara.
“Kami akan bersurat dan berkoordinasi dengan DPR RI, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ombudsman RI, KPK, Kejaksaan Agung, hingga Presiden Republik Indonesia. Negara tidak boleh diam ketika rakyat kehilangan tanahnya secara struktural,” ujarnya.
Menurut Rustam, penguasaan tanah di luar HGU bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi berpotensi menjadi pintu masuk penyimpangan serius dalam tata kelola agraria.
“Kalau negara memberikan HGU 1.932 hektar tapi yang dikuasai 3.000 hektar, pertanyaannya: siapa yang membiarkan kelebihan itu terjadi, sejak kapan, dan atas dasar apa? Itu harus dibuka,” katanya.
Isu konflik perkebunan ini juga mendapat perhatian dari parlemen. Seorang anggota DPR RI yang membidangi pertanian dan agraria (dimintai keterangan secara terpisah) menyatakan bahwa konflik seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut.
“Konflik agraria di sektor perkebunan bukan kasus tunggal. Banyak perusahaan menguasai lahan melampaui izin, sementara masyarakat sekitar justru tidak mendapat manfaat. Negara harus tegas mengevaluasi HGU yang bermasalah, dan DPR akan mendorong pengawasan agar tidak ada pembiaran,” ujar anggota DPR tersebut.
Para petani Desa Lubuk Banyau menegaskan bahwa lahan yang disengketakan telah mereka kelola turun-temurun sebagai kebun dan sumber penghidupan jauh sebelum perusahaan masuk. Mereka menyebut konflik ini sebagai bentuk “perampasan ruang hidup” yang dilegalkan oleh sistem perizinan yang lemah.
“Kalau hukum hanya melindungi izin, tapi tidak melindungi manusia yang hidup dari tanah itu, maka hukum kehilangan maknanya,” kata salah seorang perwakilan petani.
Hingga berita ini diturunkan, PT Sandabi Indah Lestari belum memberikan keterangan resmi terkait temuan pemeriksaan setempat, banding para petani, maupun rencana pelaporan ke lembaga-lembaga negara.
Para petani menegaskan perjuangan ini bukan semata soal kepemilikan, melainkan soal keadilan agraria dan kehadiran negara dalam melindungi rakyatnya.
“Kami tidak melawan perusahaan, kami menuntut negara menjalankan fungsinya,” kata Rustam. (Red)
Artikel Banding Digulirkan, Petani Lubuk Banyau Seret Konflik HGU PT Sandabi ke DPR, KPK, Kejagung, hingga Presiden pertama kali tampil pada WWW.Lintas7NEWS.my.id.





