
KOTA BENGKULU — Pasar Tradisional Percontohan Panorama yang semestinya menjadi pusat ekonomi rakyat, kini justru diduga menjadi ladang praktik kotor. Dugaan keterlibatan oknum anggota DPRD dan pembiaran dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Bengkulu, menyeret nama pemerintah kota dalam pusaran praktik jual beli lapak yang sarat penyimpangan.
Sejumlah pedagang menyebut pasar tersebut kini dikuasai kelompok tertentu yang beroperasi layaknya preman pasar. Mereka menentukan siapa yang berhak menempati, membongkar seenaknya, dan menjual kembali lapak dengan harga yang fantastis kepada pedagang lain. Modusnya, dibungkus dalam istilah “swadaya hasil rapat bersama pedagang” sebuah narasi yang oleh sejumlah pedagang disebut sebagai rekayasa.
“Saya sudah puluhan tahun berdagang di sini. Tapi sejak beberapa tahun terakhir, kami dipaksa ikut sistem baru: bangunan dibongkar, kami disuruh bayar bangunan baru, kalau tidak mampu, hak kami dialihkan ke orang lain,” kata salah satu pedagang yang meminta identitasnya dirahasiakan, Sabtu (2/8/2025).
Pedagang itu menyebut dirinya memiliki Surat Tanda Bukti Hak Menempati (STBHM), namun tetap dipaksa meninggalkan lapaknya jika tidak mampu membayar pungutan pembangunan yang tidak jelas dasar hukumnya.
Yang lebih mengejutkan, menurut keterangan pedagang lainnya, penjualan lapak-lapak baru di auning pasar dilakukan oleh oknum anggota DPRD Kota Bengkulu. “Mereka berdalih mendapat restu dari Kepala Disperindag dan hasil rapat dengan pedagang. Tapi kami tidak pernah diajak rapat. Semua ini hanya akal-akalan,” ujarnya.
Harga jual beli lapak bervariasi, tergantung lokasi dan ukuran. Beberapa bahkan mencapai puluhan juta rupiah, tanpa adanya sertifikat resmi atau bukti jual beli yang sah.
Pemerintah Kota Dinilai Abai
Praktik ini telah lama berlangsung dan semakin masif setelah adanya pembangunan ulang beberapa los pasar. Sayangnya, Pemerintah Kota Bengkulu dinilai tidak mengambil tindakan tegas.
“Seharusnya jika ada jual beli aset negara atau lahan milik pemerintah, minimal ada dokumen legal seperti sertifikat hak guna atau surat jual beli yang sah. Ini tidak jelas. Negara bisa dirugikan,” ujar seorang aktivis antikorupsi di Bengkulu.
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kota Bengkulu, termasuk Kepala Disperindag dan anggota DPRD yang disebut-sebut dalam laporan pedagang, belum memberikan klarifikasi resmi. Sementara itu, para pedagang yang tidak mampu menebus lapaknya, terpaksa berjualan di pinggir jalan atau menumpang di kios milik pedagang lain.
Pasar Rakyat, Siapa Penguasanya?
Praktik seperti ini mencerminkan pergeseran fungsi pasar rakyat. Pasar yang seharusnya menjadi ruang ekonomi rakyat kecil, justru berubah menjadi objek transaksi elite lokal. Alih-alih memberdayakan pedagang kecil, kekuasaan informal di dalam pasar kini memperkuat ketimpangan dan ketidakadilan.
Publik menanti langkah tegas dari Wali Kota Bengkulu. Apakah akan berpihak pada pedagang kecil dan menertibkan pasar, atau tetap diam di tengah dugaan permainan politik dan ekonomi yang semakin kasatmata. (Red)